Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemerintah Joko Widodo Usulkan Menghidupkan Kembali Pasal Penghinaan Presiden

Pasal Penghinaan Presiden sudah dihapus Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 silam. Setelah 9 tahun berlalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyodorkan kembali pasal itu ke dewan perwakilan rakyat untuk dihidupkan kembali. Sebagaimana diketahui pada tanggal 5 Juni 2015 Pemerintah Joko Widodo menyodorkan 786 Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke dewan perwakilan rakyat RI untuk disetujui menjadi KUHP 

Dalam ratusan pasal yang disodorkan, pemerintah Jokowi menyelipkan Pasal mengenai Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal yang pernah dihapuskan Mahkamah Konstitusi (MK) semenjak 2006 silam. Usulan pasal tersebut tercantum dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana Pasal 263 ayat 1 yang berbunyi:

“Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”

Ruang lingkup Penghinaan Presiden diperluas lewat RUU kitab undang-undang hukum pidana Pasal 264:
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan goresan pena atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud biar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Karena norma Pasal Penghinaan Presiden telah dihapus MK, maka dewan perwakilan rakyat diminta mencoret anjuran pemerintah itu tanpa pikir panjang.

"Untuk itu terhadap ketentuan perihal penghinaan presiden dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana dikala dibahas nantinya lebih baik dikeluarkan dan tidak dipaksakan masuk," ujar pengajar Universitas Jember itu.

Menurut Bayu, salah satu permasalahan dalam pembentukan UU di Indonesia cukup umur ini yaitu para pembentuk UU baik itu dewan perwakilan rakyat maupun Presiden seringkali masih memasukkan ketentuan yang sudah dinyatakan inskontituisional oleh MK. Hal ini terjadi oleh lantaran banyak sebab. Pertama, faktor ketidaksengajaan yaitu perancang UU tidak terinformasikan dengan baik bahwa telah ada putusan-putusan MK yang membatalkan beberapa ketentuan dalam UU yang berlaku. Faktor ketidaksengajaan ini tidak perlu terjadi jikalau para perancang UU mau mengikuti dinamika putusan MK dengan baik, apalagi website MK telah dengan baik memuat informasi putusan-putusan MK. 

"Kedua, faktor kesengajaan yaitu terjadi sebagai bentuk pembangkangan terhadap putusan MK yaitu ada motif untuk menghidupkan kembali pasal-pasal yang nyata-nyata telah dibatalkan oleh MK lantaran adanya kepentingan tertentu," ujar doktor dengan disertasi perihal konstitusionalitas bahan UU pascaamandeman Undang-Undang Dasar 1945 itu.

Masuknya pasal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam suatu RUU baik lantaran faktor ketidaksengajaan maupun kesengajaan tidak sanggup dibenarkan. Sebab salah satu prinsip negara aturan yaitu adanya penghormatan terhadap putusan pengadilan dalam hal ini termasuk putusan MK yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 24C ayat 1 dinyatakan selesai dan mengikat yang artinya wajib dilaksanakan oleh siapa pun baik itu lembaga-lembaga negara maupun warga negara.

"Masuknya pasal yang telah dimatikan oleh MK dalam ketentuan suatu RUU juga potensial mengancam Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam konsitusi mengingat pasal tersebut dibatalkan oleh MK oleh lantaran terbukti melanggar HAM," ucap Bayu.

Tidak hanya menghapus Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP, MK juga memerintahkan pemerintah dan dewan perwakilan rakyat menghapus norma itu dari RUU KUHP. MK menyatakan pasal Penghinaan Presiden menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

"Sehingga dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau seolah-olah dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana," demikian putusan MK yang diketok pada 6 Desember 2006 lalu. 

Sumber: http://news.detik.com/berita/2980970/dpr-diminta-coret-pasal-penghinaan-presiden-dari-rancangan-kuhp dan http://politik.news.viva.co.id/news/read/656382-jokowi-ingin-pasal-penghinaan-presiden-dihidupkan-kembali




loading...